CERPEN (UNFORGETTABLE)
YANG TAK
TERLUPAKAN
Hari
yang teduh, setelah pukul 10 matahari masih bersembunyi di balik awan mendung. Siang
itu Rania sedang bersih-bersih kamar. Ya, itulah yang selalu dia lakukan di
saat libur kerja. Saat merapikan buku-buku di rak, dia menemukan album
wisudanya.
“Hmmmmm….. sudah
satu tahun yang lalu ya” gumam Rania sambil tersenyum menatap album itu. Tak
terasa sudah setahun yang lalu dia lulus. Setahun pula semua kenangannya
berlalu, tapi satu sosok itu tak dapat dia lupakan begitu saja.
Rania kembali
mengingat saat pertama kali dia menemukan ‘Malaikat’ itu. Terlalu indah untuk
dilupakan, tapi begitu menyedihkan ketika kenyataan yang menjawab. Satu-satunya
jalan terbaik adalah menjadikannya kenangan terindah.
******
5 Tahun yang
lalu…….
Rania berjalan
melawati lorong panjang menuju kelasnya, bersama dua sahabatnya, Fiza dan
Meila. Begitu sampai di kelas Fiza lupa kalo ada tugas di jam kuliah pertama.
“Mei, tugas Grammar udah ngerjain??” tanya Fiza panik
“Rania pasti udah
kelar, pinjem dia aja yuk” kata Meila tenang.
“Ran, pinjem
tugas Grammar donk”
“Kebiasaan loe
ya, kenapa gak dari tadi sih pinjemnya” Rania sambil ngomel menyodorkan buku Grammar-nya.
“Iya maaf, kan
lupa Ran, galak bener” bergegas Fiza dan Meila mengambil dan menyalin tugas
Rania.
Dan seperti
biasa Rania lalu asyik membaca komik jepang kesukaannya. Baru membaca setengah
halaman saja, tiba-tiba Anggra, sang ‘Kepala Suku’ kelas masuk dan mengumumkan
sesuatu.
“Guys
attention please!” para warga kelas langsung menghentikan aktifitas mereka.
Dari raut wajah mereka tersirat bahwa mereka berharap hari ini dosen pada gak
masuk jadi mereka bisa nongkrong di café belakang kampus.
“Hari ini Pak
Saiful gak bisa hadir….”
“Horeeee……..”
seluruh kelas langsung bersorak.
“Gue kan belom
selesai ngomong. Denger dulu. Berhubung kita kelas malem, biar gak nunggu jam
berikutnya, gue udah ijin sama Pak Tono buat gabung mata kuliah Grammar di
kelas sebelah. Yang belum selesai ngerjain tugas buruan kerjain. 10 menit lagi kumpulin
tugasnya trus kita pindah ke kelas sebelah. Ada pertanyaan?”
Tak ada jawaban
atas pertanyaan Anggra. Kelas tiba-tiba semakin riuh karena semua panik belum
ngerjain tugas. Ada yang berlari kesana kemari nyari contekan tugas. Rania
tetap cuek menanggapi pengumuman itu dan melanjutkan membaca komiknya,
sementara Fiza dan Meila semakin ngebut nyalin tugasnya. Dan 10 menit kemudian
semua tugas terkumpul dan mereka bergegas pindah ke kelas sebelah.
Saat memasuki
kelas itu mata Rania langsung tertarik pada seseorang yang duduk di deretan
belakang. Entah apa yang membuatnya memperhatikan pria itu. Mungkin hidungnya
yang mancung dan berbeda dengan yang lain. Aahhh bukan itu, ini lebih dari sekedar fisik. Seperti ada magnet yang menarik
matanya ke arah sana. Tanpa Rania sadari
dua sahabatnya sudah mengambil posisi duduk di belakang pria itu. Fiza
melambai kepada Rania dan menyisakan satu kursi untuknya.
Selama perkuliahan, tak sedetikpun Rania
berpaling dari sosok di depannya itu. Rania terus mencari tahu apa yang membuat pria ini menarik perhatiannya. Pria berkacamata itu terlihat mempesona diantara yang lainnya. seperti ada sinar terang menyelimutinya. Pria itu juga terlihat sangat menguasai materi
yang diberikan hari itu. Mungkin Rania sedikit penasaran, awalnya. Lalu dia
mulai memperhatikan lagi pria itu dan membandingkan dengan yang lain. Tetap saja matanya selalu kembali pada Pria berkaca mata itu. Dan hal itu membuat Rania tak sanggup menatapnya lebih lama lagi. Rasanya hatinya meleleh. Jangankan menatap, melirik saja sudah membuat jantung Rania berdetak tak karuan.
Hingga
perkuliahan usai Rania semakin kagum pada pria itu. Kagum pada kemampuan dan
ketampanan pria itu.
Malamnya setelah
sampai d kost, Meila, Fiza, dan Rania membahas ‘kehebatan’ pria itu.
“Za, loe tau gak
cowok yang duduk di depan kita tadi siapa sih? mahir banget grammar-nya” tanya Meila memulai obrolan
“Jadi gak Cuma
gue aja ya yang merhatiin cowok itu?” batin Rania.
“Kalian nih
cowok mulu yang diomongin” kata Rania jutek.
“Eit, jangan
bilang kalo loe gak kagum sama dia ya. Gue tau dari tadi loe merhatiin cowok
itu Ran,” ledek Meila.
“Iya-iya gue
juga perhatiin sih dari tadi. Jago banget dia tadi. Kita mah kagak ada
apa-apanya.” Raina mengakui.
“Ya iya lah kita
cuma seujung kukunya dia” jawab Fiza
“Emang loe kenal
sama dia?” tanya Meila.
“Gak kenal sih.
Hehehehe…. Tapi gue tau siapa dia. Namanya Alfa. Katanya sih dia itu Tutor di
salah satu bimbel ternama gitu. Wah, pokoknya orang kayak kita ini kagak
bakalan dilirik sama dia deh. Percuma.” Fiza menjelaskan panjang lebar.
“Kita juga gak
berharap dia nglirik kita, iya kan Mei” kata Rania salah tingkah. Meila
bukannya menjawab, dia malah bingung dengan tingkah Rania.
“Apaan sih loe
Ran? Kita juga nggak ada yang kepikiran kesana deh."
"Udah yuk kita movie-an aja yuk. Gue punya movie baru.” kata Fiza menawarkan film barunya.
"Udah yuk kita movie-an aja yuk. Gue punya movie baru.” kata Fiza menawarkan film barunya.
“Ayookk, film
apaan Za?” tanya Meila dan Rania antusias.
“Detective
Conan”
“AAAAPPAAA…….Itu
lagi?? Nonton sendiri aja sono. Kita mau tidur aja.” kata Rania sambil keluar
dari kamar Fiza, lalu disusul Meila yang juga berlalu ke kamarnya sendiri.
“Tapi ini baru
lo… baru gue download maksudnya”
Fiza mencoba membuat dua sahabatnya kembali.
“Gue gak
peduli…..” jawab Rania jutek dari kamarnya yang berada di sebelah kiri kamar Fiza.
“Mei….” Fiza
memanggil Meila yang ada di kamar di depannya.
“Gue ngantuk Za”
Meila lalu menutup pintu dan mematikan lampu kamarnya. Memaksa Fiza juga masuk ke
kamarnya sendiri.
“Tega banget sih
kalian ihhh” Fiza pun mematikan lampu kamarnya dan terpaksa tidur.
********
Malam berikutnya
Fiza tak sengaja mendengar suara tangis Rania dari kamarnya. Fiza lalu bergegas
ke kamar Meila.
“Mei, si Rania
nangis tuh. Kenapa sih dia?” tanya Fiza khawatir
“Mana gue tau
Za. Kita samperin aja yuk,” tanpa menunggu jawaban Fiza, Meila langsung ke
kamar Rania. Saat dia ketuk kamar Rania, dia masih sedikit terisak.
“Ran, kita boleh
masuk gak?” tanya Meila dari luar
“Iya, bentar gue
bukain” jawab Rania dengan suara parau.
Begitu pintu
dibuka, mata Rania sembab. Merah parah. Sampai bengkak.
“Loe kenapa
Ran?” Meila bertanya lagi
“Iya, gue denger
tau dari kamar. Suara tangisan loe bikin gue merinding tau”
“Siapa Ran?”
“Dito?” jawab
Rania mulai menangis lagi”
Mendengar nama
Dito, dua sahabat Rania itu semakin bingung.
“Bukannya dia
udah setahun ini gak kontek loe lagi? Kenapa masih dipikirin sih?”
“Gue baru dapet
kabar, dia udah married” mendengar penjelasan Rania bukannya ikut sedih
mereka berdua malah ketawa.
“Jadi cuma
gara-gara itu loe nangis” Fiza tertawa kencang.
“Iya ih, masak
cuma gara-gara cowok kayak gitu loe
nangis sih Ran?” Meila tak kalah kencang tertawa.
“Iiiiihhhh
bukan,” Rania mengklarifikasi.
“Trus apa?”
“Gue seneng dia
akhirnya married. Jadi gue yakin sama perasaan gue kalo dia gak pernah
serius sama gue. Tapi jadi bikin masalah baru. Selama ini gue jadiin orang lain
pelarian gue. Pelarian perasaan gue. Gue juga bingung sama perasaan gue ke
orang itu.”
“Pelarian? Siapa
Ran? Jangan bilang kalo yang loe maksud itu…..” belum selesai Meila menebak,
Fiza dengan yakin menyebut nama seseorang.
“Alfa”
“Iya. Dan
sekarang gue bener-bener suka sama dia meskipun gue gak pernah ada interaksi
langsung sama dia. Trus gue mesti gimana coba. Gue tahu dia terlalu jauh dari
jangkauan gue. Itu yang bikin gue nangis. Trus gimana dong ini.”
“Gimana ya. Loe
yakin loe beneran suka sama Alfa?” Meila mencoba meyakinkan Rania tentang
perasaan dia pada Alfa.
Dan itu semakin
membuat Rania sedih. Dia merasa bagaikan pungguk merindukan bulan. Malam itu,
Meila dan Fiza menemani Rania di kamar yang menangis semalaman
*****
Di hari
berikutnya, Rania masih terus mencuri kesempatan bertemu dengan Alfa. Dia
selalu mengajak sahabat-sahabatnya berangkat lebih awal ke kampus hanya untuk
mengawasi pria itu dari lantai atas. Hanya melihanya datang dengan mengendarai
motor, parkir motor, sampai masuk kelas, itu sudah sangat membuat Rania
bahagia. Tak terkira lah rasanya.
Rania sangat
beruntung karena kelas Alfa berada di
samping kelasnya. Dan setiap pergantian jam kuliah, Rania akan mendapat
kesempatan untuk berpapasan dengannya. Setiap hari, Senin sampai Jum’at, selama
2 tahun.
Hanya itu yang
bisa dia lakukan. Apa lagi? Rania cukup tahu diri untuk memendam rasa kagumnya.
Tapi tentu saja itu sangat menyiksa. Mencintai tapi bertahan untuk tidak
mengungkapkan apa lagi memiliki. Lebih menyakitkan dari pada sakit hati.
Pada suatu sore,
Rania akan mengerjakan tugas kelompok di kantin. Saat itu Rania melihat motor
yang biasa dikendarai Alfa sudah terparkir. Itu tandanya dia udah dateng.
“Jam segini dia
udah dateng? Mugkin lagi ngerjain tugas kelompok juga kali ya. Sama kayak gue”
.Kemudian Rania bergegas menuju kantin.
Saat itu Rania
melihat Alfa meskipun dari belakang. Dia sedang duduk bersama seorang gadis.
"Kraaaakkkk”
hati Rania rasanya retak. Semakin tipis harapannya untuk bisa dekat dengan
Alfa. Rania mencoba cuek dan mencari teman-temannya untuk menyelesaikan tugas
kelompok. Sesekali Rania menoleh ke arah Alfa dan gadis itu. Kali ini Rania
melihat dari depan. Dan dia akhirnya tau gadis itu Dhera temen satu kelas Alfa.
Dan rumor mengatakan Dhera juga termasuk mahasiswa teladan di kelasnya. Nilai
akademiknya juga selalu di atas rata-rata.
“Gue bukan
tandingan dia deh,” Rania sangat terpuruk. Seperti kalah sebelum ikut perang.
“Aaaaaaarrrggghhhh…..”
Rania tiba-tiba berteriak. Dan itu mengagetkan teman-teman yang duduk di
depannya.
“Kenapa sih loe
Ran? Ngerjain juga belum udah histeris duluan aja” kata salah satu temannya
yang kaget.
“Hehehhe….. sorry.”
Jawab Rania cengengesan sambil memegang belakang kepalanya.
*****
Tak terasa liburan
semester tiba juga. Setelah berjuang melawan kertas-kertas keramat (Ujian
Semester) mungkin ini waktu yang tepat buat liburan. Dan pada kesempatan ini
anggota kelas Alfa mengadakan liburan ke Gunung Bromo. Kabar itu sampai di
telinga Fiza. Tanpa berpikir lama, Fiza langsung menyampaikan kabar gembira ini
ke Rania.
“Ran, kelas Alfa
mau ngadain liburan ke Bromo lho. Mau ikutan gak, kesempatan gak dateng dua
kali lho”kata Fiza buru-buru dan langsung mendapat respon hangat dari Rania.
Dengan wajah
sumringah Rania membuatnya lebih jelas, “berangkatnya kapan Za, trus biayanya
berapa sama……”
“Stop….. kalo
mau info lengkapnya hubungi langsung aja ke sini” kata Fiza sambil menyodorkan
kertas. Dan Meila juga ikutan ngintip.
Yang bikin kaget
adalah nama yang ada di kertas itu.
“Alfa” teriak
Rania dan Meila bersamaan saat membaca nama itu. Entah Rania harus bagaimana.
Harus seneng atau bingung atau malah panik.
“Udah yuk masuk.
Kelas Bu Hanik udah mau mulai tuh” Fiza menarik tangan Rania dan Meila yang
masih bengong. Rania bener-bener gak tau harus gimana.
Ini kesempatan
besar untuk bisa memulai kontak dengan Alfa, tapi jika ingat apa yang dia tau
tentang Alfa dan Dhera. Rania berpikir pasti nanti Dhera juga ikut. Itu akan
semakin menyakiti hati dan perasaannya.
Sepulang dari kampus Rania langsung masuk
ke kamar. Mengikui saran Fiza untuk langsung menghubungi Alfa. Tapi apa daya.
Rencana hanya tinggal rencana. Jangankan menulis kata. Memegang handphone
aja udah bikin Rania gemeteran. Dia segera berlari ke kamar Fiza.
“Za, tolongin aku dong. Tanganku gemeteran
nih. Kamu aja deh yang hubungin dia. Aku gak kuat. Takut salah tingkah.” pinta
Rania masih gemetar
“Yah elah Ran, casing aja preman, cuma kayak gini doang gemeter.
Sini aku aja yang tanya langsung ke dia.” Dan Rania hanya bisa tersenyum kecut.
Jatuh cinta itu gak enak. Karena harus
jatuh dulu baru dia cinta. Malah klo lagi apes, sebenernya dia gak cinta tapi
cuma kasihan. Yang Rania ingin adalah membangun cinta, tapi apa daya, ilmunya
belum sampai sana. Dia belum tau hal apa yang pertama harus dia lakukan.
Dia seperti mendamba rembulan. Hanya mampu
mengagumi keindahan dari kejauhan, karena mustahil untuk memiliki. Jangankan
memiliki, mendekatpun tak akan bisa dia lakukan.
*****
Rania kembali
menatap satu buket Edelweis, “bunga abadi” yang telah mengering. Satu-satunya kenangan
dari Alfa, saat mereka ke Bromo waktu itu. Seperti nasib cintanya yang abadi
namun tak pernah mengering dan layu. Bahkan hingga bertahun berlalu, perasaan
itu tak pernah padam. Selalu ada hal kecil yang membuat Rania mengenang Alfa.
Lembaran skripsi
pun tak luput dari kenangan. Bagaimana Rania duduk dalam satu bangku panjang bersama
meski ada Meila yang mengacaukannya saat itu. Aaahhhh ……Hanya membayangkannya
saja sudah membuat Rania tersipu.
Kalau kalian pikir kisah ini akan berakhir
indah, sayang sekali itu tidak akan terjadi. Karena selamanya Alfa hanya
menjadi misteri bagi Rania. Mungkin benar yang Rania rasakan bukan cinta yang
harus memiliki. Tapi ini sebuah rasa kagum, lebih dari kagum dan cinta hanya
untuk mengagumi. Tapi perasaan itu justru lebih dalam, dan sulit untuk Rania
hapus dari kehidupannya. Mengapa?? Karena misteri tentang Alfa yang belum dia
tahu sepenuhnya.
Tapi bagaimanapun kehidupan Rania harus
terus berlanjut. Dia tidak terpuruk hanya karena tidak mendapatkan Alfa di sisinya.
Yang tlah dia sepakati dengan hatinya adalah “menjadikan Alfa sebagai salah
satu bagian masa lalu yang tak terlupakan”.
B Y E B Y E
Komentar
Posting Komentar